KAREBA, MAKASSAR –Dugaan pembungkaman kebebasan berekspresi di lingkungan perguruan tinggi kembali mencuat. Seorang mahasiswa Universitas Patria Artha Makassar, berinisial D, disebut-sebut menerima sanksi akademik setelah mengunggah status WhatsApp yang dinilai mengandung kritik terhadap pihak kampus.
Unggahan tersebut memicu respons keras dari pihak yayasan. Mahasiswa D mengaku dilarang mengikuti Ujian Akhir Semester (UAS), diwajibkan meminta maaf, serta terancam kehilangan beasiswa dan statusnya sebagai mahasiswa aktif. Ia menegaskan bahwa unggahan tersebut merupakan bentuk ekspresi pribadi yang tidak secara eksplisit menyebut nama institusi.
“Status tersebut merupakan luapan kegelisahan saya sebagai individu. Tidak ada maksud untuk mencemarkan nama baik kampus. Justru saya berharap ada ruang bagi mahasiswa untuk menyampaikan keresahan tanpa tekanan,” ujar D saat ditemui di Makassar, Rabu (23/7/2025).
Menanggapi hal ini, Koordinator Wilayah 8 Pengurus Pusat Gerakan Mahasiswa Kristen Indonesia (PP GMKI), Vicky, mengecam keras langkah represif yang dilakukan pihak kampus. Ia menilai tindakan tersebut tidak sejalan dengan semangat akademik dan prinsip-prinsip demokrasi.
“Mahasiswa seharusnya didorong untuk berpikir kritis. Kritik bukanlah ancaman, melainkan bahan evaluasi bagi lembaga. Jika institusi bersikap alergi terhadap kritik, hal ini menandakan kegagalan dalam membangun iklim akademik yang sehat,” tegas Vicky.
Menurutnya, kampus seharusnya menjadi ruang aman untuk berpikir, berdiskusi, dan menyampaikan pendapat. Karena itu, ia mendesak Universitas Patria Artha agar bersikap lebih terbuka dan proporsional dalam menyikapi dinamika internal mahasiswa.
Di sisi lain, Wakil Rektor II Bidang Akademik Universitas Patria Artha, Suhendra, S.E., M.M., CFM., saat dikonfirmasi membantah bahwa sanksi yang dijatuhkan bersifat sepihak. Ia menjelaskan bahwa larangan mengikuti ujian murni disebabkan oleh ketidakhadiran mahasiswa yang tidak memenuhi syarat minimum.
“Sesuai ketentuan akademik, mahasiswa hanya dapat mengikuti ujian akhir apabila tingkat kehadiran minimal 70 persen. Aturan ini berlaku untuk seluruh mahasiswa tanpa pengecualian. Jika nama mahasiswa tidak tercatat dalam daftar hadir, maka ia tidak diperkenankan mengikuti ujian,” jelas Suhendra di Kampus Universitas Patria Artha, Jl. Tun Abdul Razak, Makassar.
Ia juga menambahkan bahwa kewenangannya hanya mencakup aspek akademik, sementara urusan non-akademik, termasuk beasiswa atau kebijakan yayasan, di luar tanggung jawabnya.
Namun demikian, D tetap bersikeras bahwa sanksi akademik yang diterimanya disertai ancaman dari pihak yayasan mengenai pencabutan beasiswa, yang muncul setelah unggahan tersebut viral di kalangan internal kampus.
Hingga berita ini diterbitkan, pihak yayasan Universitas Patria Artha belum memberikan pernyataan resmi terkait isu pencabutan beasiswa tersebut.
PP GMKI menegaskan bahwa tindakan yang terkesan represif terhadap mahasiswa dapat menjadi preseden buruk bagi dunia pendidikan tinggi di Indonesia. Mereka menekankan bahwa kritik seharusnya direspons dengan dialog terbuka dan pembenahan, bukan dengan intimidasi. (Red/*)